Karakter Pemuda Mahasiswa Dalam Masyarakat Indonesia yang Setengah Jajahan Setengah Feodal


Pemuda adalah salah satu golongan atau sektor yang berjumlah besar dari masyarakat Indonesia. Mereka berusia muda antara 15-35 tahun, yakni laki-laki dan perempuan, dan memiliki ciri khusus yakni tingkat mobilitas yang tinggi, dinamis dan aktif. Sebagai unsur yang bertumbuh-kembang, mereka memiliki masa depan untuk bisa mengembangkan dirinya dan membangun  di segala bidang menuju kemajuan masyarakatnya.
Jika dilihat dari aspek usia, mereka berjumlah 82,2 juta lebih (2008) dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 228,5 juta lebih yang mengalami kenaikan seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Dari jumlah tersebut, mayoritas tersebar sebagai pelajar dan mahasiswa, buruh, tani, borjuasi kecil perkotaan lainnya (seperti: pekerja merdeka, intelektual, dll). Ketersebaran di setiap sektor dan ciri-ciri khusus menjadikan kedudukan dan peranan pemuda sangat penting sebagai kekuatan produktif dan tulang punggung perjuangan Demokratis Nasional. Sejarah menunjukkan peran penting pemuda dalam gerakan pembebasan nasional, Revolusi Agustus 1945, dan Gerakan Mei 1998.


Akan tetapi, penghisapan dan penindasan imperialisme, feodalisme dan kapitalisme-birokrat membuat mereka terlempar ke jalan ketidakpastian masa depan, seperti: PHK massal, ketiadaan kesempatan kerja, penghidupan yang tidak layak, biaya pendidikan yang mahal, keterbelakangan sosial, dan diskriminasi.  Di bawah sistem penindasan Setengah Jajahan- Setengah Feodal (SJSF), masa depan mereka menjadi suram di lapangan  ekonomi, politik dan kebudayaan sehingga tidak memberikan tempat bagi pengembangan diri untuk belajar  dan bekerja yang benar dan terjamin. Dengan demikian, perkembangan kekuatan produktif pemuda terhambat selama sistem penindasan berlangsung terus. Kepentingan sosial-ekonomi mereka sangat berkepentingan terhadap tersedianya lapangan pekerjaan dan pendidikan yang patriotis, ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat.
Problem Umum dan Khusus Sektor Pemuda Indonesia di Bawah Penindasan Setengah Jajahan Setengah Feodal
Secara umum, krisis umum imperialisme membuat keadaan rakyat di negeri-negeri terjajah/setengah jajahan-setengah feodal mengalami krisis kronis yang berkepanjangan. Krisis di negara-negara industri maju adalah akibat langsung dan tidak terhindarkan dari krisis umum akibat kesenjangan ekonomi dunia. Krisis tersebut berbentuk bertumpuk-tumpuknya kelebihan produksi barang-barang hasil industri, khususnya barang-barang teknologi tinggi dan persenjataan, yang tidak terjual seluruh di pasar dunia. Krisis ini disebut sebagai krisis overproduksi. Penyebabnya adalah kesenjangan ekonomi di mana daya beli masyarakat dunia tidaklah merata dan kemiskinan yang menjalar di mana-mana.
Besarnya kelebihan produksi di negara-negara industri yang tidak bisa diputar dalam perdagangan menyebabkan lahirnya pemecatan hubungan kerja yang dialami oleh kaum buruh di negeri-negeri maju demi penghematan. Akan tetapi, usaha penghematan tersebut berujung pada tumpukkan kelebihan barang hasil industri yang tidak terbendung. Keadaan tersebut menyebabkan negara-negara industri maju (imperialis) kerap memaksa rakyat di negeri-negeri terjajah dan bergantung untuk membeli kelebihan barang hasil industri negeri-negeri imperialis.
Ada tiga kepentingan imperialis terhadap negeri Terjajah/SJSF, yaitu:
kepentingan untuk menguasai kekayaan alam; kepentingan untuk mengeksploitasi tenaga kerja murah yang berlimpah; kepentingan untuk memasarkan atau membuang kelebihan barang dagangannya.
Usaha demikian yang dilakukan untuk  menyelamatkan diri dari krisis ekonomi yang terus-menerus dan usaha itu juga tidak bisa membuat imperialis lepas dari krisisnya.
Kaum kapitalis monopoli asing dan borjuasi besar komprador mengutak-atik teori dan metode untuk menyelamatkan diri. Untuk itu, mereka meningkatkan intensitas penghisapan terhadap klas buruh dan rakyat pekerja lainnya dan mengembangkan sikap agresi perang dengan kedok “demokrasi”, “tatanan ekonomi yang berkeadilan” dan “hak asasi manusia (HAM)”. Kekuatan produktif terbaik di dunia ini, klas buruh, di negeri-negeri imperialis dan Terjajah/SJ-SF mengalami kehancuran  melalui serangkaian PHK, pemotongan upah, dan penambahan jam kerja. Kaum tani semakin kehilangan tanahnya, tercekik riba dan hutang, dan meningkatnya biaya sewa tanah. Sementara itu, borjuasi kecil perkotaan semakin kehilangan uangnya akibat kenaikan harga barang dan pungutan kapitalis birokrat (kabir) setiap hari, sedangkan pelajar dan mahasiswa mengalami masa depan yang suram karena biaya pendidikan yang semakin mahal.
Di bawah dua sistem penghisapan dan penindasan, pemuda Indonesia memiliki masalah umum yang sama dengan rakyat selain masalah khusus utama, yaitu: Pendidikan dan pekerjaan. Masalah umum dan khusus tersebut hanya didapatkan oleh pemuda dari klas-klas tertindas—seperti: buruh, tani, klas menengah—pengusaha dan pedagang menengah—dan borjuasi kecil lainnya—yang bertentangan dengan kaum muda dari klas berkuasa, yakni: borjuasi besar (komprador) dan tuan tanah. Oleh karena itu, pengertian Pemuda Indonesia dalam zaman imperialisme saat ini adalah mereka yang tertindas oleh dua sistem penindasan: imperialisme dan feodalisme.
Bagaimana keadaan umum pemuda yang tersebar tersebut?
Diktator reaksioner ini tidak memberikan kesempatan bagi pemuda untuk mengembangkan dirinya dan berusaha menjadikan pemuda sebagai kekuatan cadangan yang dipergunakan tenaganya bagi keuntungan borjuasi besar dan tuan tanah. Pemuda Indonesia, secara umum, menjadi tenaga produktif yang tidak berkembang secara ekonomi, politik dan kebudayaan karena dihambat perkembangannya oleh dua sistem penindasan yang berlaku dan selalu menghadapi kesulitan untuk maju dan kepastian hidup yang sejahtera. Di bawah ini uraian singkat situasi pemuda yang tersebar di berbagai klas masyarakat;
Pertama, Pemuda buruh sebagai bagian kekuatan produktif termaju, kaum buruh, menghadapi perasan hidup yang berlipat melalui penghisapan nilai lebih dalam aktivitas produksi. Watak mereka dibentuk dalam serangkaian produksi yang bersifat massal dan kolektif dalam kesatuan disiplin kerja.  Mayoritas mereka bekerja pada industri bergantung seperti halnya negeri-negeri lain di bawah penindasan sistem SJSF yang bercirikan: industri manufaktur yang hanya dilengkapi teknologi rendah atau menengah yang diimpor dari kapitalis monopoli asing, tidak membutuhkan tenaga besar yang memiliki ketrampilan tinggi dan terdidik baik, tidak berbasiskan industri dasar, dan berorientasi eksport. Dengan keadaan ini, pemuda buruh yang memiliki potensi tinggi hanya dibatasi untuk menjadi pelayan kapitalis monopoli asing—melalui bonekanya borjuasi besar komprador—dan mengalami keterbelakangan dalam aspek kekuatan produktif dibandingkan di negeri-negeri industri.
Keadaan pemuda buruh ini menjadikan mereka sasaran empuk penghisapan imperialis dan borjuasi besar komprador yang mudah dipakai dengan harga murah dan dibuang tak berarti. Walaupun demikian, pemuda buruh (perempuan dan laki-laki) mendapatkan pelajaran banyak dari sistem kerja yang dilalui dan membentuk karakteristik khusus, yakni: kolektifitas yang tinggi, kebiasaan bekerja dalam keterhubungan kerja yang integral, tuntutan disiplin tinggi dan bersifat massal (sosial) dalam produksi menjadikan memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap sesama buruh dan terbiasa dengan kehidupan kolektif. Ini yang membuat karakteristik sosialisme dalam kaum buruh. Hal demikian bukan berarti buruh akan mudah begitu saja memahami penindasan yang dialami, karakter yang terbentuk dan kesadarannya secara spontanitas. Akan tetapi, dari setiap jutaan buruh yang tersebar di pabrik-pabrik dan unit-unit kerja lainnya (sesuai sektor atau jenisnya)  pasti melahirkan beberapa pimpinan massa yang memiliki kesedaran relatif lebih tinggi dibandingkan massa buruh lainnya—secara inisiatif, pengetahuan, keberanian, kecakapan, keteladanan, dan lain-lain. Itu merupakan hukum obyektif yang tidak bisa dipungkiri.
Kedua, Bagaimana dengan pemuda tani? Mereka memiliki problem umum yang sama dengan kaum tani, yakni: penghisapan oleh sisa-sisa feodalisme.  Basis sosial dalam sistem penghisapan sisa-sisa feodalisme , yakni: Monopoli tanah, ekonomi komiditi dengan orientasi ekspor, produksi skala besar dalam perkebunan atau sektor agraria lainnya. Keadaan ini membuat pemuda tani tidak mampu mengembangkan kekuatan produktif karena sistem itu tidak membutuhkan tenaga yang trampil dan terdidik baik serta diupah secara murah.
Kaum tani, di seluruh lapisan klasnya, merupakan klas dari sistem lama (feodalisme) yang memiliki sejarah lama dalam cara bekerja dan kepemilikan alat produksi perseorangan. Dengan demikian, ia berbeda dengan proletariat yang bekerja dalam sistem kapitalis yang memiliki kesatuan sistem produksi, disiplin kerja tertentu, dan sistem pengupahan tertentu. Selain itu, sistem penghisapan proletariat melalui pencurian nilai lebih (surplus value)  berbeda dengan kaum tani yang melalui surplus product. Perbedaan itu juga membentuk karakteristik khusus pemuda tani yang terbelakang (kekuatan produktif) dibandingkan pemuda proletariat. Ini buah dari kerusakan sistem SJSF yang menempatkan penghisapan sisa-sisa feodalisme sebagai basis sosial imperialisme.
Ketiga, borjuasi kecil (BK) perkotaan, seperti: intelektual (pelajar, mahasiswa, dosen, guru), pekerja merdeka (wartawan, pengacara, dokter, seniman, dll), pengusaha dan pedagang kecil, dan PNS rendahan. Pemuda pada klas ini merupakan golongan bermilik kecil yang berlapis tingkatannya, yakni: bawah, menengah dan atas. Mereka memiliki peluang dan keinginan untuk meningkatkan kapitalnya dengan menggunakan kemampuan kapital kecil sebelumnya dan aspek kelebihan pada intelektual yang dimiliki. Setiap tingkatan dalam klas BK menunjuk sebuah kedudukannya dalam relasi produksi dan juga politiknya. Bagi pemuda yang menjadi guru rendahan di sebuah sekolah merupakan BK lapisan bawah yang tidak melebihi keadaan ekonomi seoorang pengusaha kecil yang menguasai alat produksi dan mempekerjakan beberapa pekerja.  Begitu juga, mahasiswa memiliki kelebihan yakni pada aspek intelejensia yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengakumulasi kapital—seperti halnya pekerja merdeka
Masalah kaum intelektual tidak lepas dari ranah BK ini. Kemampuan pada aspek pengetahuan dan ketrampilan menjadikan mereka menjadi golongan yang juga dipergunakan borjuasi besar dan menengah dalam di sektor-sektor khusus. Walaupun demikian, mereka juga adalah kelompok yang sering dihisap dan ditindas jika mengajukan tuntutan-tuntutan demokratis dan mengambil sikap politik yang progresif. Keadaan krisis kronis yang berkepanjangan mengakibatkan mereka kehilangan pendapatan, jaminan kerja dan hidup yang layak—khususnya BK seksi tengah dan bawah. Selain itu, mereka tidak mendapatkan kesempatan luas dalam berpatisipasi secara ekonomi, politik dan kebudayaan sehingga mengalami kemacetan dalam mengembangkan diri mereka. Keterpurukan ini membuat rentan bagi pemuda dari klas ini jatuh dalam kebudayaan terbelakang imperialisme yang ditandai dengan sikap individualisme yang tinggi dan jatuh pada sikap: bimbang, sinis, dan sensasional.
Keempat, penganguran. Kelompok ini adalah cadangan proletariat yang tidak tertampung dalam industri. Pengangguran di Indonesia memiliki hubungan erat yang dengan orientasi ekonomi politik yang bergantung pada kapitalis monopoli asing dan berbasis pada penghisapan sisa-sisa feodalisme. Dampaknya, kekuatan produktif ini tidak mendapatkan tempat dalam sistem SJSF yang lebih membutuhkan tenaga-tenaga murah, ketrampilan dan pendidikan rendah, dan menerapkan fleksibilitas tenaga kerja.
Di Indonesia, pengangguran mencapai + 42 juta lebih yang terbagi atas pengangguran tetap dan pengangguran yang hanya bekerja serabutan bersifat jangka pendek. Mereka tersebar di pedesaan dan perkotaan. Beberapa pemuda pada lapisan ini, di perkotaan, jatuh ke dalam tindakan-tindakan anti sosial seperti: penggunaan narkoba, pencopet, perampok, penipu, pelacuran, geng-geng, dll. Sedangkan pemuda yang pernah mengecap pendidikan menengah atau tinggi hanya mampu melakukan kerja serabutan yang sifatnya sementara. Demikian halnya pemuda desa yang kehilangan tanahnya meninggalkan desa menuju kota menjadi pedagang kecil hanya dalam beberapa bulan saja karena tidak mendapatkan perbaikan hidup yang diharapkan.
Bagaimana kediktatoran ini menghancurkan kekuatan produktif dari kalangan pemuda ini?
Begitu besar cita-cita pemuda sehingga mereka berharap bisa mendapatkan pendidikan yang layak di sekolah atau universitas negeri. Alasan yang dominan atas pilihan tersebut adalah: biaya murah yang bisa dijangkau seluruh lapisan klas dan jaminan kualitas pendidikan yang bermutu. Akan tetapi, pemerintah reaksioner ini semakin melepaskan kewajibannya untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan yang terjangkau. Kediktaturan borjuasi besar komprador dan tuan tanah ini lebih memilih memangkas subsidi pada sektor-sektor publik untuk alokasi investasi   besar anti rakyat yang menguntungkan imperialis dan kaki tangannya di dalam negeri. Keadaan demikian membuat angka partisipasi sekolah sangat rendah. Menurut data Pemerintah RI tahun 2006, angka partisipasi sekolah pada usia 16-18 tahun hanya 53,92 persen, sedangkan usia 19-24 hanya 11,32 persen.
Sementara itu, anak buruh dan kaum tani—di usia sekolah—yang mendapatkan pendidikan hanya sekitar 20 persen dari seluruh peserta pendidikan formal. Karena itu, banyak anak buruh dan kaum tani hanya mampu bersekolah pada level SD dan SMP saja, bahkan yang tidak tamat karena masalah biaya pendidikan yang mahal. Nasib yang sama dirasakan juga oleh pemuda yang berlatarbelakang borjuasi kecil perkotaan seksi bawah. Akibat dari biaya pendidikan yang tinggi, banyak dari pemuda-pemuda ini tidak sanggup mengenyam bangku sekolah dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan anti-sosial, seperti: menggunakan narkoba, terlibat dalam pencurian dan pelacuran, bergabung dengan gang-gang, dan lain-lain.
Pemerintah tuan tanah besar komprador ini berulangkali membuat usaha bagi rakyat agar mudah mendapatkan pendidikan tetapi sekian juta kegagalan tidak terpecahkan. Banyak program dan aturan yang dikeluarkan—seperti: Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Badan Hukum Pendidikan (BHP), dll—tetapi tidak bisa memecahkan problem secara integral sehingga tinggi  angka putus sekolah dan ketidakmampuan menjangkau pendidikan di perguruan tinggi. Kediktaturan ini semakin menunjukkan watak kapitalis birokratnya dengan intensif mencoleng uang subsidi rakyat untuk membiayai krisisnya dan mengeruk uang rakyat sebesar-besarnya melalui penyelenggaraan pendidikan yang mahal untuk meningkatkan kapitalnya. Selain itu, mereka membuat kelembagaan “demokratis” yang hakekatnya palsu—seperti Komite Sekolah, Wali Amanah, dll—dalam memecahkan masalah pendidikan setempat yang ditujukan melegitimasi ketidakmampuan pemerintah dan menyerahkan pemecahannya kepada masyarat—dengan label partisipasi publik, transparansi dan akuntabilitas. Padahal komposisi lembaga itu dikuasai para kapitalis birokrat dan tuan tanah.
Pada lapangan kebudayaan ini, pelajar dan mahasiswa diajarkan dan menerima teori-teori lama yang telah sekarat sebagai hukum alamiah. Pengetahuan mereka hanya dibatasi untuk orientasi industri teknologi rendah serta rakitan dan mengabdi pada dominasi teknologi imperialis. Di ilmu sosial, pelajar dan mahasiswa diajarkan ilmu cara untuk menyesuaikan kebutuhan “globalisasi” melalui peningkatkan SDM yang berlimpah dengan slogan: keunggulan komparatif yakni sumber agraria dan tenaga kerja yang melimpah, kreatifitas dan kewirausahaan, keprofesionalan a la borjuasi. Selain itu, dipaksakan untuk menerima “demokrasi”  a la imperialis dan sarana-sarana demokrasi yang terinstitusionalkan sebagai bentuk masyarakat beradab tanpa mempersoalkan akar krisis yang menyebabkan kehancuran masyarakatnya. Menjawab persoalan kemiskinan hanya dibatasi pada aspek  solidaritas sosial yang semu; persoalan korupsi yang merajalela disempitkan sebagai masalah ahklak; krisis finansial dibatasi sebagai buah spekulasi yang berlebihan; masalah penyakit sosial disimpulkan sebagai kekeringan iman dan jauh dari ajaran agama.
Salah satu keburukan terbesar yang diajarkan oleh nilai-nilai kapitalis dan feodal adalah pemisahan di antara pengetahuan dan pengalaman praktis. Semua pengetahuan yang disebarluaskan oleh klas penindas mengandung kebohongan yang amat merusak dan munafik, kemudian membentuk gambaran palsu masyarakat kapitalis yang dibesar-besarkan sebagai masyarakat yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan.  Dalam sistem pendidikan ini, generasi pemuda dari buruh dan tani tidak mendapatkan pendidikan yang baik dibandingkan mereka yang dididik dalam kepentingan kaum borjuasi besar dan tuan tanah. Pemuda tani dan buruh dilatih dalam cara tertentu untuk menjadi pelayan yang berguna bagi klas penindas sehingga mampu menciptakan keuntungan selama hal tersebut tidak menggangu kedamaian milik imperialis, komprador dan tuan tanah. Dengan demikian, pelajar dan mahasiswa diajarkan untuk menghianati tanah airnya, bersikap anti ilmiah, anti proletariat dan klas pekerja lainnya, serta tidak demokratis.
Pelajar dan mahasiswa tidak akan pernah mendapatkan kebebasan akademik dan hak demokratis lainnya. Situasi krisis yang berwatak kronis di negeri SJSF akan membatasi hak demokratis pelajar/mahasiswa dengan tindasan budaya dan politik. Kekuasaan fasisme akan semakin bertumbuh seiring dengan krisis kronis yang berkepanjangan sehingga hak-hak politik akan semakin dikekang dan ruang demokratis di lembaga pendidikan tidak akan pernah ada. Pihak kapitalis birokrat akan semakin banyak menciptakan aturan yang membatasi hak politik pelajar/mahasiswa dan tidak segan-segan berlaku keras, seperti: pemberian sanksi akademik, drop-out (DO), bahkan mengkriminalkan setiap tuntutan demokratis, kritik, dan aksi massa.
Kita bisa melihat buah dari sistem pendidikan telah banyak melahirkan pengangguran. Dari 110 juta lebih angkatan kerja (data tahun 2008), hanya 5,5 persen lulusan dari perguruan tinggi, SD ke bawah 58 persen, SMP/SMU 37 persen; yang bisa bekerja di segala sektor dengan status pekerja tetap dan serabutan. Sementara itu, pemuda calon pekerja yang berusia 15-24 tahun sebesar 56 persen adalah pengangguran. Angka demikian semakin menambah pengganguran di Indonesia yang sudah mencapai 42 juta orang, apalagi ditambah rencana PHK pekerja yang diperkirakan mencapai 3 juta orang pada 2009 akibat krisis finansial dunia pada akhir 2008 lalu.
Dari masalah diatas maka Pemuda Indonesia secara khusus mengalami penindasan dua hal, yaitu:
1. Lapangan ekonomi; Tidak mendapatkan pekerjaan yang layak dan tetap sehingga banyak kekuatan produktif pemuda menjadi pengangguran dan sebagian hanya terserap di pekerjaan serabutan.
2. Lapangan kebudayaan:
• Tidak bisa mendapatkan akses pendidikan di setiap level—terutama pemuda yang berlatar belakang klas keluarga buruh, buruh tani/tani miskin/tani sedang bawah, serta borjuasi kecil perkotaan seksi bawah—karena tingginya biaya pendidikan dan tidak menjangkau ke seluruh rakyat—terutama di perkampungan dan pedalaman desa.
• Pendidikan yang berorientasi untuk mengabdi penindasan imperialisme dan feodalisme sehingga berwatak pro imperialis dan tuan tanah, anti ilmiah, anti demokrasi, dan anti massa rakyat. Dengan keadaan demikian, lembaga pendidikan menjadi benteng reaksi yang keras terhadap tuntutan demokratis—seperti: kebebasan akademis, kebebasan berorganisasi, dll.
Shared :  Keluarga Mahasiswa Cibaliung (KUMAUNG)

Sumber: Front Mahasiswa Nasional (FMN)

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Karakter Pemuda Mahasiswa Dalam Masyarakat Indonesia yang Setengah Jajahan Setengah Feodal"